Kolom Opini
O
pini diartikan sebagai pendapat, pikiran, atau pendirian. Menulis opini berarti menyebar luaskan gagasan. Dengan menulis opini, seseorang berarti mentransfer ide dan gagasannya ke ruang publik. Ketika sudah memasuki ruang publik, pilihannya hanya ada dua yaitu bisa mempengaruhi publik atau tidak, dengan cara gagasan yang ditulisnya bisa diterima atau justru diperdebatkan. Opini memang bisa diartikan sebagai pandangan seseorang tentang suatu masalah. Namun tidak hanya sekadar pendapat, pendapat tersebut bisa dipertanggungjawabkan yang disajikan dalam bahasa formal yang lebih populer. Karena itu, untuk menulis opini juga dibutuhkan riset.
Struktur Opini adalah sebagai berikut:
1. Judul
2. Nama Penulis
3. Teras/ kalimat utama yang menjelaskan kasus awal
4. Isi pendapat (ditulis dengan logis, tegas, tidak ambigu, dan jelas.)
5. Harapan terhadap isu yang dibahas
Catatan:
Penggunaan bahasa kolom opini formal cenderung populer dan tidak kaku seperti esai. Harus berdasarkan fakta masalah. Solusi, opini, atau argumentasi logis dan sesuai dengan pribadi. Menjelaskan permasalahan secara serius dan menggunakan kosakata yang sesuai dengan topik.
Contoh kolom opini berkaitan dengan media dan komunikasi.
Jurus Ampuh Menangkal Hoax
Sulistyanto
Kandidat PhD di School of Film, Media & Journalism, Monash University, Melbourne.
Lukman Hakim Saifuddin, menteri agama RI, menulis di harian ini mengenai pengalaman pribadinya sebagai seorang pejabat tinggi yang dirugikan oleh hoax (2/1/2017).
Keberanian beliau mengangkat topik tersebut perlu mendapatkan apresiasi, sekaligus menjadi pengingat bagi publik agar lebih cermat dan bijak dalam mencerna informasi yang tersaji di media, terutama media sosial.
Dalam buku Media and Morality: On the Rise of the Mediapolis, Roger Silverstone (2007) prihatin atas kondisi media yang semakin marak dengan hoax, termasuk di media sosial.
Salah satu penyebabnya, dalam pandangan Silverstone, pengguna media sosial dapat berperan sebagai produser (pembuat) konten dan sekaligus sebagai user (pengguna). Ini berarti, everybody can be a publisher.
Akibatnya, setiap detik pengguna media sosial dibanjiri berbagai konten secara masif. Dari informasi ringan seputar pengalaman liburan teman, foto masakan, humor, dan berita duka sampai informasi serius tentang ekonomi serta politik.
Ironisnya, tidak semua informasi yang diunggah dan beredar tersebut benar. Sering kali ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja menyebarkan kabar bohong demi kepentingannya. Tumpulnya daya kritis kebanyakan pengguna media sosial, membuat mereka mudah terpengaruh oleh hoax ini.
Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi ancaman hoax. Jerman, salah satu negara maju dengan tingkat kemapanan demokrasi serta regulasi media yang baik pun, ternyata kelabakan dengan banjirnya hoax ini.
Misalnya, dalam beberapa bulan sejak dibukanya perbatasan Jerman bagi para pengungsi pada September 2015, ratusan berita bohong terkait pengungsi dilaporkan berseliweran di media sosial dan membombardir publik Jerman.
Dampaknya sangat serius, yakni timbulnya keresahan di kalangan warga, meluasnya xenophobia, dan gangguan terhadap stabilitas politik. Menyikapi situasi tersebut, Pemerintah Jerman baru-baru ini mengambil langkah tegas dan berencana memberikan sanksi yang berat bagi penyebar hoax.
Peraturan yang akan segera diberlakukan itu memungkinkan penerapan denda maksimum 500 ribu euro atau senilai Rp 7 miliar bagi laman media sosial yang terbukti menerbitkan berita hoax. Lalu, jurus ampuh seperti apa untuk menangkal hoax yang berseliweran di media sosial?
Mengadopsi konsep media literacy yang disampaikan Silverstone, ada tiga hal yang seyogianya dilakukan pengguna media sosial agar lebih kritis. Pertama adalah meneliti keandalan sumber berita. Laman berita yang mencantumkan alamat dan nomor telepon yang jelas pada umumnya bisa diandalkan. Akun media sosial, terutama Facebook dan Twitter, yang sudah diverifikasi biasanya juga lebih bisa diandalkan karena berkaitan dengan individu atau organisasi yang bersangkutan.
Facebook dan Twitter memberikan verifikasi berupa tanda centang biru bagi akun yang dimiliki oleh tokoh atau organisasi ternama. Informasi yang berasal dari sumber yang diragukan keandalannya sebaiknya diabaikan. Kedua adalah mengkritisi isi informasi yang diterima. Meskipun berasal dari sumber yang dapat diandalkan--situs yang jelas alamatnya atau akun yang telah diverifikasi--jangan serta-merta mempercayainya. Apabila berita itu dari laman berita, sebaiknya diteliti silang dengan berita sejenis di laman lain.
Apabila konten berasal dari akun media sosial, sebaiknya ditelusuri sumbernya untuk memastikan kebenarannya. Bila sumbernya tidak dicantumkan sebaiknya abaikan saja. Ketiga, sebaiknya mencari tahu bagaimana media lain memberitakan isu tersebut. Terkadang sudut pandang pemberitaan antara satu media dan yang lain berbeda. Dan hal ini adalah sesuatu yang wajar karena setiap organisasi media pasti memiliki kepentingan atau kecenderungan pada kelompok politik tertentu.
Dengan mencermati suatu informasi dari berbagai sudut pandang justru akan membantu melihatnya secara lebih utuh. Cara ini cukup efektif, terutama bila kita sudah memetakan media--media yang ada beserta kecenderungan ideologi atau afiliasi politiknya. Selain mengedepankan sikap kritis dalam menggunakan media sosial, rasa tanggung jawab atas konten yang dibuatnya juga menjadi prioritas. Setidaknya ada tiga langkah untuk memenuhi hal tersebut.
Pertama, apabila berniat membuat konten sendiri pastikan bahwa informasi yang terkandung di dalamnya dibuat berdasarkan fakta. Apabila konten itu menggunakan informasi berupa data atau gambar pastikan keandalannya dan cantumkan sumbernya. Kedua, jangan sekali-kali membuat konten yang berpotensi menimbulkan kebencian atau menistakan pihak lain. Perlu diingat bahwa sebuah informasi selalu dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh audiens.
Hal itu terjadi bergantung pada latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik pembacanya. Oleh karena itu, hendaklah informasi tersebut dibaca dari berbagai sudut pandang untuk meminimalisasi potensi adanya pihak lain yang dirugikan sebelum menyebarkannya. Ketiga, apabila hendak berbagi sebuah konten-- misalnya dengan sharing atau retweeting-- hendaknya pengguna sudah yakin bahwa konten tersebut jelas sumbernya, dapat dipercaya kebenarannya, dan tidak berpotensi merugikan pihak lain.
Dengan membiasakan melakukan langkah-langkah tersebut, niscaya kita sebagai pengguna media sosial akan memiliki media literacy dan terhindar dampak buruk hoax yang terus bermunculan di media sosial. Namun, penanganan fenomena ini akan lebih efektif apabila pemerintah turun tangan untuk mereduksi kemunculan dan peredaran hoax. Ibarat penyakit, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Bila tidak segera bertindak apa yang menimpa dan menjadi kekhawatiran Menag Saifuddin bisa saja terjadi. Dan itu tentu merupakan sebuah ancaman yang sangat serius bagi masyarakat Indonesia, yang tengah membangun demokrasi dan semangat kebinekaan saat ini.
Sumber:
1. https://republika.co.id/berita/koran/opini-koran/17/01/07/ojep8625-jurus-ampuh-menangkal-hoax
2. https://medium.com/@marsileaaa/perbedaan-antara-artikel-esai-kolom-opini-dan-tajuk-rencana-3aa88fe1c800
Tidak ada komentar:
Posting Komentar